A Little Weird Call Center Is Zappos

24 Apr

A little weird Call Center is Zappos

Hasil kunjungan ke markas ‘Delivering Happiness’ dan berguru dengan Call Center Tony Hsieh di Las Vegas Nevada USA Tahun 2013

Bagian 1: Penasaran dengan Delivering Happines

Membaca praktek ‘nyeleneh’ Tony Hsieh yaitu memberikan uang kepada staf call center yang mengundurkan diri membuat saya penasaran akan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Zappos Call Center. Jika teman-teman membaca buku Delivering Happines dengan penulis Tony Hsieh maka teman-teman pasti akan terkagum-kagum juga terheran-heran dengan gaya leadership-nya. Dan demikian juga yang saya alami sehingga saya menetapkan menghubungi Asosiasi Global Contact Center untuk mendapatkan restu dan mengutarakan niat mengunjungi markas Zappos di Las Vegas.

Kunjungan ke markas Monkey Row

Setelah semua urusan perijinan dan pembiayaan diselesaikan. Maka November minggu kedua setelah perhelatan Gala Dinner ContactCenterWorld tingkat dunia berakhir maka saya punya skedul kosong. Jadi saya tetapkan berkunjung ke markas Zappos di kota kontroversial Las Vegas alias ‘sin city’. Ms Emaile dengan ramahnya melayani korespondensi kami dan memberikan arahan akan lokasi Zappos. Kantor Zappos terletak di hook antara Las Vegas Boulevard dan Stewart Avenue. Ehm…  tidak sulit sama sekali mencari lokasi Zappos, cukup lurus dari hotel dimana kami menginap. Kedatangan kami disambut satpam yang terlihat sangat nyantai dan langsung dengan ramah mengarahkan kami menuju lapangan menyerupai lapangan basket dengan tulisan Lobby yang berwarna warni pas di tengah-tengah. Sesampai di lobby, kami langsung narsis berfoto di depan wall of fame ‘part of the ZAPPOS family’ bergaya dikit donk.

Dibantu oleh resepsionis yang berkuncir banyak dan bertato serta berbaju ‘tank top’ membuat saya sudah otomatis menyunggingkan senyum wajar karena kagum dan surprize.

Dengan cekatan ia menanyakan identitas kami dan memberikan kami ‘Visitor Pass’ serta stiker ‘Zappos Tour Experience’ dengan nama Grace dicetak. Stiker ditempelkan dan Visitor Pass dikalungkan agar kami bisa melewati beberapa access door selama berkunjung di dalam gedung. Sebelum memulai kunjungan, sang tuan rumah menyatukan kami untuk menyaksikan video perkenalan tentang asal usul dan sejarah Zappos. Meskipun mereka sudah demikian terkenal, lucunya mereka bertingkah seakan-akan mereka harus menjelaskan semua hal dengan sederhana dan unik, sehingga tidak sulit bagi orang awam sekalipun untuk ingat dengan keunikan Zappos. Bahkan cara memperkenalkan ‘host’ Ray pun disertai prosedur yang tidak umum, yaitu memiliki lambang-lambang dan bunyi-bunyi sebagai ‘anchoring’.S aat kami memperkenalkan diri dari Indonesia, Ray-pun cukup kagum. Mungkin pikirnya ini turis dari belahan dunia lain yang jauh ya. Sepanjang tur tersebut kami dipersilahkan mengambil foto sebanyak mungkin kecuali memotret layar komputer ataupun data-data yang terpajang pada workstation staf.

 

Dari ruang video, kami menuju gedung utama yang secure dan melalui selasar melingkar. Sepanjang berjalan inilah Ray bercerita bahwa semua pegawai di Zappos memiliki workstation yang sama, semua terbuka dengan pembatas standar. Hanya 2 orang yang memiliki ruangan khusus yaitu ruangan VIP dan para legal counsellor. Ruangan VIP adalah ruangan counselling pribadi para pegawai Zappos dengan seorang coach. Yang saya dapati di call center Amerika dan belahan dunia lain, istilah counselling tidak digunakan untuk hubungan profesional tetapi lebih kepada pengembangan diri dan bersifat pribadi. Coach disini membantu setiap personel menemukan kekuatan masing-masing dan membuat target pribadi dalam rangka pengembangan diri. Setelah ruangan VIP kami menuju ruangan dengan balon berbentuk kepala monyet yang cukup besar. Seorang pegawai perempuan setengah umur menyapa “Hi” dengan semangat. Ray menjelaskan inilah yang disebut Monkey Rows, yaitu deretan workstation Tony beserta 2 orang senior manajemen Zappos lainnya. Penulis penasaran dan langsung bertanya “Why you call it Monkey Rows?” dan Ray mengangkat bahunya. Ia tidak tahu kenapa disebut dengan istilah Monkey Rows, yang ia tahu Monkey Rows utk menunjukkan deretan workstation Tony Hsieh.

 

Bagian 2 : Bertemu ‘Head of the Monkey’

Dari area ini Ray membawa kami menyusuri selasar dan menunjukkan bentuk pintu masuk yang utama serta posisi para senior manajemen yang tepat di tengah-tengah. Ternyata terdapat alasan kuat untuk membiarkan siapapun masuk melalui pintu utama terssebut dan langsung terpantau oleh para senior manajemen yang berderet di Monkey Rows area tersebut.

 

Menurut Ray mereka menghargai sekali building relationship dan itulah bagian dari culture Zappos yang unik. Maka mendengar penjelasan tersebut, semua mata menelaah akses pintu masuk dan ketika saya memalingkan muka dari pintu utama ke sebelah dalam, terlihat Tony Hsieh sedang duduk di workstationnya. Kami beserta pengunjung lainnya akhirnya berhadap-hadapan dengan Tony dibatasi kaca gedung. Iapun melambaikan tangannya dan tersenyum. Wah saya langsung berpikir inilah dia Tony ‘the Head of the Monkey’. Rekan saya dengan sigap mengambil kamera dan akan langsung memoto, tapi sayang niatannya tidak kesampaian karena Tony sudah berlalu dari mejanya. Oh baiklah kita pasti bertemu lagi di kelas bootcamp satu saat, saya membatin. Catatan kalau ada rejeki kita balik ke BootCamp belajar tentang Entrepreneurship eCommerce ya. Nanti saya pasti akan minta foto selfie bareng ya.

Prinsip ‘CRM’ PingPong sebagai Building Relationship strategy

Kami memasuki gedung utama dengan penjagaan lebih ketat, melewati access door dengan mendekatkan Visitor Pass kami dan langsung naik ke lantai 3 menuju pintu utama. Di sinilah kami keluar di foyer tersibuk dimana semua pihak biasa lalu lalang. Disedikan kitchennette dan terdapat 2 box cooler minuman besar berisi beragam minum yang sebagian besar disediakan gratis. Di seberangnya terdapat kotak kardus besar berisi beragam hadiah dalam rangka kegiatan Thanks Giving. Ehm tidak kalah dengan kantor google, pikir saya. Ray bercerita hanya minuman energi yang dikenakan biaya 1 dollar, itupun uangnya dikumpulkan bagi badan sosial. Dari foyer kami diajak Ray merasakan suasana kantin Zappos. Semua makanan utama disediakan gratis sedangkan minuman tertentu seperti kopi yang akan dikenakan biaya. Kantin dengan ukuran 10 X 15 meter persegi langsung menghadapi udara terbuka dengan pemandangan gurun pasir Nevada di balik pepohonan tersebut. Sofa yang cukup besar terdapat diserambil dengan tenda di tengah-tengah serambil tersebut. Wifi disediakan di seluruh area kantin, jika kita ingin bekerja sambil tiduran, selonjoran, duduk di sofa, di bawah tendapun bisa tetap online. Di sisi kanan dari kantin adalah ruangan untuk bermain ping pong dengan pintu kaca. Ray menjelaskan kenapa olahraga pingpong yang ditempatkan karena terkait prinsip interaksi di Call Center. Ketika memasuki ruangan kerja – workstation call center nanti baru saya mengerti apa yg dimaksud dengan prinsip pingpong untuk membangun hubungan dengan customers.  Saya kira mereka memang para PingPong’ers ternyata ada prinsip di balik kegiatan ini yaitu CRM PingPong.

Dari kantin tersebut rombongan diajak menelusuri ruangan lain penuh warna warni dan beragam hiasan serta beragam pajangan tergantung sepanjang dinding. Di sinilah Tony dan team mencatatkan semua pencapaian key milestones perusahaan pada dinding tersebut, contoh adalah rekor penjualan pada ini tanggal 17 Desember 2007 alias enam tahun yang lalu dimana penjualan di hari tersebut mencatat USD 5,011,900 (dengan hitungan exchange rate Rp 12.125 maka nilainya setara Rp 60,769,287,500 sehari alias ups 60 miliar ...). Disamping pencapaian tersebut dijajarkan juga beragam buku tentang Building Values yang ditulis seputar studi kasus Zappos tersebut. Lumayan ada 10 buku dan rata-rata tertulis Best Seller oleh New York Times. Benar-benar membuktikan kepiawaian Tony terbukti tidak saja pada membangun people tetapi membangun persepsi dan image Zappos.  Setiap peserta tur nanti akan dibagi buku Zappos Company value terbaru ‘gratisan’ yang ditulis oleh semua staf call center. Wah benar-benar berharga dan kesempatan yang langka, buku tersebut saya simpan baik-baik. Buat saya pribadi memang Zappos ini patut diacungi dua jempol.

Setelah bagian tersebut sampailah saya di ruangan bagi rekan-rekan human resources yang hanya terdiri dari 12 workstation.

Diskusi berlanjut kepada strategi pemberian benefit kepada tim, persepsi kami adalah mereka mengambil positioning di atas rata-rata market dengan bonus yang berlimpah. Sang pengawal Ray pun menjelaskan dengan tegas tidak ada bonus berbentuk uang bagi para Staf Call Center, loh pikir saya  kenapa demikian? Lalu saya bertanya apakah bonus dikaitkan dengan pencapaian tahunan perusahaan. Ray tersenyum dan menyebutkan, tidak ada bonus apapun baik untuk pencapaian pribadi ataupun tim, karena organisasi memang mencari para staf yang senang melayani dan willing to serve, bukan karena nilai uang yang dikejar, tetapi value diri sendiri memang serving other. Pertanyaan saya  “Apakah karena alasan yang sama Zappos menerapkan pemberian uang bagi personnel Call Center yang mundur setelah program pelatihan Zappos selesai ?”Ray menjawab dengan yakin “We believe that Values is really personal, either you do it or you don’t !”. Pahamlah saya akan konsep ‘kontroversial’ dengan memberikan uang bagi rekan-rekan yang mundur tersebut. Lalu apakah mereka kekurangan orang? Kenyataannya setiap bulan mereka menerima lamaran sebanyak 3,000 CV dan hanya 30 orang yang dipanggil. Lalu karena penasaran saya melakukan probing lebih lanjut, ternyata Zappos tidak pernah memberikan insentif berbentuk materi bagi Staf Contact Center mereka, memang tidak dibiasakan untuk hal ini. Paradigma lama yaitu encourge team call center agar berjualan dan berikan mereka insentif untuk merubah contact center yang tadinya cost oriented menjadi revenue oriented sama sekali tidak pernah dilihat sebagai sesuatu yang menarik di Zappos. Interaksi staf contact center memang ‘nyeleneh’, inilah kunci dari seluruh pendapat saya yaitu Call Center yang aneh alias weird ya mereka kaum Zappos. Pengukuran contact center yang tidak menggunakan IVR sama sekali, tidak mengukur jumlah call yang ditangani apalagi menjadi target, tidak memberikan batasan lamanya percakapan dan tidak pernah berbicara tentang pencapaian Service Level. Lalu apanya yang diukur pikir saya membatin. Jawabannya yang diukur adalah seberapa berhasil staf contact center membangun relationship yang tulus dengan sang penelepon. Prinsip ping and pong yaitu konsep berkomunikasi yang tek tok antara staf contact center dengan penelepon, sehingga dihindari satu pihak hanya mendengar saja tanpa memberikan rekasi positif. Si penelepon juga nyaman karena tidak merasa dipojokkan untuk membeli sesuatu. Staf contact center pun tidak berusaha menjual, dan tugasnya hanya mengidentifikasi profil penelepon dan membangun hubungan baik. Aneh ya, memang saya juga merasa aneh. Di satu pihak mereka begitu berhasil ‘hard selling’ dilihat dari volumenya dan di sisi lain mereka tidak berusaha untuk menjual. Konsep bahwa personel Call Center harus menghargai relationship dan suka membangun hubungan adalah nilai pribadi sebagai dasar penerimaan semua orang yang diterima di contact center Zappos. Fun ? Ya sayapun memasuki ruang ke ruang dan memang merasakan sekali nuansa yang berbeda. Lalu kenapa mereka menerima beribu pelamar padahal tidak diberikan insentif berbentuk uang ? Zappos memang mencari orang-orang punya nilai yang sama dan insentif mereka berbentuk layanan bagi staf contact center, contohnya ? Kupon ke bengkel atau bengkelnya yang dipindah ke dekat kantor untuk melayani permintaan staf contact center tersebut. How they do it ? Untuk menggali hal ini saya harus membuat sesi khusus selama 3 hari pastinya. Satu lagi catatan penting untuk saya tindaklanjuti ketika sesi bootcamp nanti dengan Tony.

Bagian 3 : Royal Family Zappos

Kami berpindah ke ruangan kecil di pojokan dengan etalase panjang berisi barang-barang berlogo Zappos. Dari mouse, mug, plat nomor mobil, bola basket, stationairies, beragam produk kebutuhan sehari hari Call Center dan beberapa lembar kertas berbentuk uang lembaran berlogo Z. Zappos manajemen memang tidak memberikan bonus berbentuk materi (dalam arti kata tidak pernah berupa finansial) tetapi di lain pihak mereka menyediakan uang-uangan bernama Zollar yang dapat ditukar dengan beragam souvenir dan fasilitas. Mengenai pengumpulan Zollar sendiri Ray tidak bercerita banyak dan kelihatannya ini adalah bagian yang ‘disimpan’ untuk dibahas pada sesi bootcamp tersebut. Karena waktu sesi tour tersebut juga dibatasi (hanya di alokasikan selama 45 menit) kali ini saya tidak berkesempatan menggali lebih banyak pada 'How To' dari topik ini.  Wah strategi pintar dari para tim Zappos utk membuat penasaran peserta dan tertarik mengikuti sesi Bootcamp. ‘Wah jurus jualannya keluar juga’ pikir saya.

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sayap gedung yang berbeda dengan ruangan tadi, dan disini Ray menerangkan tentang bagian Call Center yang tidak di manage sendiri tetapi di outsourcekan oleh team BPO untuk brand Zappos yang berbeda. Wah ini menarik ya, karena outsourcing sepertinya memang sedang ‘happening’ dimana-mana. Bedanya layanan ini tidak disebutkan sebagai bagian dari brand Zappos tetapi lini bisnis ini dimiliki oleh Tony sebagai shareholder yang sama bertujuan melayani segment customers yang berbeda dan lebih price sensitive.

Kami lanjut menaiki tangga dan menyusuri tangga memutar ke lantai yang lebih rendah. Dan sampailah kami ke sebuah ruangan kecil di penghujung tangga tersebut dengan membelakangi sebuah pintu exit door yang cukup besar. Di pojok dari ruangan tersebut tertulis 'Royalty and part of the Zappos Familly' lengkap dengan bangku kebesaran raja dan sebuah lemari berisi beragam topi raja, tiara ratu serta tongkat raja. Disinilah para Staf Contact Center dengan prestasi terbaik dinobatkan menjadi raja atau ratu dan difoto dengan gaya ‘nyeleneh serta dipampang di wall of fame Zappos. Ray menerangkan bahwa lokasi ini adalah lokasi ‘fake’ alias tiruan karena lokasi aslinya dari 'site' tersebut berupa bangku kebesaran raja dan aksesoris yang ‘lebih’ asli untuk digunakan oleh para Staf Contact Center tidak diletakkan di tempat tersebut. Dulu lokasi asli dari gaya sesi ‘moto menjadi Royal Family Zappos’ ini diperbolehkan untuk difoto oleh pengunjung sambil menunggu tim Contact Center sendiri melakukan pemotretan, tetapi karena terlalu banyak dan seringnya pengunjung yang datang akhirnya skedul foto para contact center justru terbengkalai. Daripada rebutan akhirnya dibuatlah tiruan lokasi foto ini khusus untuk pengunjung dan aslinya tetap dialokasikan untuk rekan-rekan Contact Center Zappos ber’banci tampil’ ria. Berapa sih pengunjung Zappos setahun ? Di akhir sesi barulah Penulis tahu berapa angka kunjungan ke lokasi mereka dan mengerti sesuatu yang disebut dengan 'Lucille' untuk mencatat jumlah pengunjung. Memang Zappos ini ada-ada saja sampai cara mencatatpun dibuat ‘unik’.  Dan satu lagi mereka akan membangun Zappos Museum Exhibition Center, ya ampun pikir Penulis, emang penuh kejutan deh Call Center satu ini.

 

Bagian 4 : Call Center without Visioner Leader doesn’t mean anything

Melihat gaya ‘nyelenehnya’ kepemimpinan Tony ini, saya teringat diskusi dengan beberapa leaders ContactCenter ketika berada di konferensi ContactCenterWorld.com di Orlando US. Menurut rekan saya tersebut rata-rata organisasi di Amerika sendiri kurang berminat untukmengambil sertifikasi terkait operasional call center seperti ISO dan sejenisnya. Oh no wonder ketika saya mengikuti 9 konferensi ContactCenterWorld.com di worldwide, hanya 4 organisasi yang pernah menyinggung ini, mereka lebih fokus kepada Strategic Proposition berupa Unique Innovation or Tactical Innovation yang berhasil mereka implementasikan. Seperti halnya VP or Leader pada sebuah Contact Center maka kita harus mengajukan sebuah ‘Appealing Bisnis Case’ kepada Senior Management atau Shareholder, demikianlah inovasi itu dihargai mahal oleh mereka. Sedangkan untuk sertifikasi Contact Center profesional yang terkait dengan personal mereka lebih terbuka dan menganggap hal ini adalah standar kompetensi yang harus dimiliki. Oh ya ? Memang belahan dunia lain memiliki kebutuhan dantantangan yang berbeda sehingga mencari tahu apa yang memang cocok untuk Contact Center kita sendiri juga sebuah ‘Visioning Homework’ bagi para Leaders. Balik kepada Tony sendiri, sebagai Leader dia tidak memerlukan acuan metric sertifikasi dari organisasi lain, dia menemukan, mengidentifikasi dan membangun bentuknya sendiri sesuai company values. Gak heran Ray menyatakan 'Values is really personal'.

Lalu apa yang diacu oleh Leader seperti Tony ini terkait dengan ‘hebatnya’ Customer Experience hasil interaksi dari ‘great’ Contact Center Zappos? Yang pasti mereka menggunakan Net Promoter Score untuk mengukur hasil interaksi tersebut dan menganalisa dampak referral dari good interaction dengan Contact Center. Sedangkan asumsi bahwa Zappos tidak mengukur metric umum Call Center seperti Service Level adalah benar tetapi juga kurang tepat, karena sistem Zappos ternyata mengukur pencapaian Service Level tetapi mereka menganggap itu adalah standar umum pemberian akses sehingga mereka wajib mengangkat telepon dengan cepat. Sedang metric ‘generasi sebelumnya’ yaitu Abandon Call, Jumlah Calls yang diangkat, Average Talk Time benar-benar tidak dikenal oleh Tony tim mereka karena mindset yang berbeda ketika meletakkan peran dari Call Center Zappos tersebut. Lebih tepatnya “Zappos does have very specific metrics at work in their customer service center. They’re just not as sexy as individual Zappos stories, so nobody seems to be talking about them”.Jadi mesin PBX merekapun mencatat Service Level tetapi tidak menganggap pencapaian angka Service Level sebagai sesuatu yang ‘wah’, hal itu adalah wajib dipenuhi karena akan sulit memberikan layanan yang sebaik apapun, jika layanan anda susah diakses.

Terkait dengan peran Call Center Zappos yang menjadi branding customer exprience tersendiri, saya  sampai hari ini masih tidak habis pikir bagaimana Tony pertama menjual idenya tentang Values Call Center ini sebelum mereka sesukses sekarang. Semua harus mulai dari Visioning Leader yang meletakkan tujuannya khan ? Tony juga harus mendapatkan dukungan dari shareholdernya bukan ? Dan ia memiliki 2 orang Executive juga yang harus ‘lari’ bersama dia dalam membangun Zappos Call Center ini. Bagaimana Tony melihat ujung dari mimpi layanan Zappos Call Center tersebut sehingga ia membangun dan menjalankan Call Center seperti apa adanya sekarang. For me ‘It’s total amazing and awesome’ for sure. Ada satu kalimat Tony yang benar-benar menohok dan menjadi inspirasi bagi saya  yaitu “We really don’t think that customer service is an expense that you should try to minimize, it’s really an investment in your brand. The telephone is one of the best branding devices out there. If you wow [customers] during that interaction, that’s something they’re going to remember for a very long time and tell their friends about”.

Berkaca kepada kasus Tony, saya setuju sekali Leader di Call Centerlah yang memang menentukan seperti apa operasional Call Center akan dibentuk, kemana arah Call Center menuju, bagaimana Staf Contact Center bekerja. Leader di sini harus benar-benar authorized leader dalam arti memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mendorong organisasi menuju visinya dan menunjukkan otoritas leadership-nya. Sering juga saya amati meskipun jabatannya sebagai leader tetapi ternyata empowerment yang dimiliki alias otoritasnya lebih kepada tingkat pelaksana, sehingga tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi atau menentukan sesuatu, ya kalau ini sih sebetulnya not a leader ya. Kesimpulan saya tanpa Visioning Leader, sepertinya Call Center memang tidak akan kemana-mana. Yang pasti Tony sangat ‘gape’ membangun branding Zappos dan membangun self esteem para Zapponians (kaum Zappos menyebut karyawan mereka) tanpa merasa wajib mengikuti aturan ataupun ‘label’ orang lain. Penulis masih tidak habis pikir bagaimana dia menjual ide tentang peran Call Center ini secara konsisten tigabelas tahun yang lalu sebelum mereka jadi besar seperti sekarang? Benar-benar visioner leader.

Lalu apa lagi yang diukur oleh Tony dan tim ? Mereka mengukur NPS tidak hanya untuk eksternal tetapi juga penting untuk mengukur NPS internal.Dengan keyakinan yang samalah pemberian USD 2,000 bagi rekan-rekan yang mengundurkan diri diterapkan karena jika value diri sendiri bukan melayani maka bergabung dengan Zapponians dianggap kurang tepat.

Untuk informasi saja nilai NPS Zappos melalui ulasan buku ‘Customer Loyalty Playbook yang Penulis dapatkan dari Toko Buku Gramedia juga WOW yaitu 90% bandingkan dengan angka rata-rata industri online sejenis di US tahun 2011 oleh Satmetrix (dikutip dari buku yang sama) hanya 47%. Dilampirkan juga hasil Satmetrix untuk pengukuran NPS dari organisasi di Indonesia, tetapi yang terbaikpun sekalipun ternyata negatif ya. (Penulis harus mendalami terlebih dahulu apa dan kenapa NPS tersebut menjadi negatif). Berdasarkan kutipan buku ‘Colin Shaw the DNA of Customer Experience ; How Emotion Drive Value’ diyakini setiap 1% kenaikan NPS akan berdampak terhadap kenaikan 0.147% revenue growth. Jadi kalau Tony mendorong pengukuran NPS external dan NPS internal berarti efeknya dua kali lipat ya ? Ini baru dugaan saya saja, harus dilakukan analisa lebih lanjut tentunya.

 

Bagian 5 : Tehnik ‘Anjing Menggonggong’

Kami pindah lantai dan mulai menyusuri sayap workstation ‘para hero’. Penulis mengutip istilah dari Presiden ContactCenterWorld.com; Mr Raj bahwa inilah true hero perusahaan. Mari kita telaah cubicle mereka. Workstation contact center berjajar berbaris seperti call center pada umumnya, dengan luasan cukup baik, perkiraan saya yaitu 1,2 meter X 90 cm. Sang empunya kaum Zapponians boleh memasang apapun di meja tersebut, terutama gimmic dan souvenir2 yang menunjukkan prestasi mereka sebagai Zapponians. Apakah mereka mengenal ‘hot desk’? Sayangnya (Ups salah, kalimat dikoreksi). ‘Untungnya’ tidak, sehingga masing2 cubicle diberikan nama si Zapponians. Langit2 contact center mereka   tinggi tetapi dengan nuansa apa adanya sebagai aksesori, rasanya seperti kita memasuki mall2 terbaru di Jakarta. Tetapi penataan lampu sangat baik, terang benderang dan tertata rapi. Di setiap meja terletak satu set alat tulis dan beragam spidol berwarna warni. Ray menerangkan staf contact center disini diperbolehkan membuat beragam gaya surat dan mengirimkan surat tersebut kepada pelanggan. Sangat disarankan menulis surat tersebut dengan tulisan tangan sendiri dan di tandatangani oleh staf yang bersangkutan.  Penulis jadi teringat surat Selamat Ulang Tahun dari  putera saya yang masih duduk di bangku SD. Salah satu surat yang ditunjukkannya adalah surat dimana staf contact center memberikan salam untuk seorang customer dan menanyakan kabar 'anjing' dari customer tersebut.  Penulis membatin jualan online shopping baju tetapi sampai mencatat nama anjingnya segala, buat apa ya ? Masih ingat tehnik pingpong? Staf contact center tidak menggiring Customersnya membeli tetapi bertugas membangun relationship.  Salah satu tehnik yang Penulis sebut ‘Anjing Menggonggong’ adalah ketika berbicara dengan customers dan terdengar suara anjing sebagai latar belakang, staf contact center dilatih untuk membuka percakapan tentang anjing tersebut. Sebagai pemilik anjing beberapa staf contact center terbiasa dengan informasi seputar kebiasaan memelihara anjing.  Di sinilah tehnik ‘anjing menggonggong’ digunakan untuk membuka percakapan yang lebih akrab.  Lalu bagaimana mengukur atribut quality monitoring dari contact center Zappos ? Menurut Diana; zapponians yang juga seorang QM, keahlian menerapkan tehnik ‘anjing menggonggong’ ini adalah salah satu contoh atribut yang di ukur oleh tim Quality Monitoring Zappos.  Pada setiap percakapan staf contact center ditugaskan mengenali 2 kesempatan membangun relationship dan menerapkan strategi percakapan pingpong setelah identifikasi awal. Kemampuan membuka percakapan dengan tehnik ‘anjing menggonggong’ bisa sebagai dikatakan sebagai identifikasi awal.  Agak bingung? 11 - 12 dengan saya, saya juga bingung J . Memang pemahaman saya pada topik ini juga masih belum mumpuni, karena di bagian ini saya tidak berkesempatan melakukan probing dengan detil, sesuatu yang memang harus dibahas pada sesi bootcamp. Impresi saya adalah para staf contact center ditugaskan ‘mengobrol’ dengan customers dan membuat sang customer nyaman.  Hanya itu kesimpulan Penulis.  Dan penulisan surat serta kartu ucapan adalah bentuk personal touch dari setiap staf dengan customer tersebut.

Salah satu ‘sexy story’ dari contact center Zappos adalah ‘insiden mencari pizza’.  Diceritakan bagaimana Tony dan temannya menginap di sebuah hotel dan akhirnya teman Tony menghubungi contact center Zappos untuk membuktikan seberapa hebatnya interaksi Zapponians. Teman Tony tersebut menghubungi dan mengeluhkan tidak adanya menu pizza di hotel tersebut. Mula-mula sang staf contact center agak bingung tetapi akhirnya ia dibantu dengan beberapa outlet pizza delivery terdekat.  Teman Tony mengakui ‘branded customer experience Zappos is the best’.   Di ujung cerita ini Tony selalu berpesan semoga cerita ini tidak menggugah semua orang untuk calling Zappos hanya untuk menanyakan lokasi pizza ataupun ‘hanya untuk mengalami’ good customer service from Zappos.  Menelaah cerita ini menurut saya, Tony memang konsisten menerapkan contact center sebagai channel untuk branding, karena kekuatan dari gaung branding itu sendiri telah terbukti membawa bisnis mereka ke tingkat yang berbeda.  Apa maksudnya?  Menurut pemikiran saya, Amazon merogoh koceknya untuk membeli Zappos seharga USD 1,2 billion (atau seharga Rp 14,4 T dengan kurs USD Rp 12,000) tidak dapat dipungkiri juga karena branding Zappos yang luar biasa.  Hal ini kembali lagi ke pertanyaan semula dari Penulis ‘Darimana Tony punya visi dan meyakinkan semua pihak akan visi call center tersebut, sehingga ia meletakkan strategi ‘aneh bin ajaib’ tersebut dan mencapai posisi sekarang?’ Gak kebayang dari mana. Semoga Penulis punya kesempatan mengupas hal ini dengan Tony sendiri.

 

Bagian 6 : Kunjungan para Lucille dan Zappos 1

Setelah mengunjungi downtown yaitu sayap berisi deretan workstation ‘para hero’, maka kali ini Penulis diajak Ray melihat tim merchandiser. Ruang merchandiser tidak terlalu besar, dan berisi beragam barang serta ditembok kanan terpajang beragam sepatu raksasa bertuliskan Zappos. Karena nuansa Thanksgiving maka staf karyawan Zappos diminta menyumbang barang-barang untuk disumbangkan. Di tengah-tengah ruangan dipajang balon berbentuk ‘kalkun’ sebagai tanda perayaan Thanksgiving. Kami melanjutkan perjalanan dan berakhir di lobby pertama kami disambut.Tetapi Ray mengajak kami mengunjungi library Zappos dan mempersilahkan pengunjung menerima souvenir berupa Buku Zappos Values yang ditulis oleh semua karyawan Zappos. Selain itu dipajang beragam sepatu antik dan unik yang pernah dijual oleh Zappos pada sebuah etalase tersendiri. Alokasi waktu 45 menit kami sudah habis karena Penulis dan rekan Penulis mengambil sesi tanya jawab maka kami dipersilahkan menambah alokasi waktu sebanyak 45 menit berikutnya untuk mendiskusikan beberapa topik lain dengan fokus KPI, Quality Monitoring dan Proses.Penulis akan mengupas hasil diskusi ini pada kesempatan berbeda. Sebelum Ray mengucapkan perpisahan, ia mengantar kami melihat karya seni bernama Lucille, yaitu tempat kami para visitor menempelkan stiker kunjungan masing-masingsehingga semua stiker pengunjung tersebut berbentuk seperti bola raksasa.Ray menjelaskan setahun rata-rata Zappos menerima tidak kurang 6,000 pengunjung sehingga bola raksasa tersebut menjadi demikian besar. Kamipun dipersilahkan menempelkan stiker kami masing2 dan mengembalikan visitor card.

Setelah Ray, Penulis dan rekan dibantu oleh Maggy dan Diana (dua orang Zapponians yang menemani sesi tanya jawab) berfoto bareng didepan wall of fame ‘part of the ZAPPOS family’. Ternyata setelahnya Maggy dan Diana berbaik hati mencarikan seorang staf kurir yang merangkap juga driver karyawan Zappos untuk mengantar kami kembali ke hotel. Kelihatannya mereka cukup terkesan kami datang dari jauh sekali, kurang lebih perlu 36 jam perjalanan untuk sampai ke Vegas ini. Dan mereka juga berusaha melayani kami dengan baik. Ehm sejauh pengalaman saya melakukan benchmark tidak pernah saya dilayani teman-teman mancanegara atau ‘bule’ khususnya dengan mengantar kami kembali ke hotel. Kali ini sang driverpun mengantar kami dengan menaiki mobil GMC dengan plat nomor Zappos1 – Nevada, wah jangan-jangan ini mobilnya Tony. Wah benar-benar hospitality yang berbeda dari rata-rata ukuran keramahan di kota Vegas ini. Sepanjang jalan sang driver menjelaskan betapa bahagianya dia dengan pekerjaannya di Zappos saat ini. Ia membandingkan ketika pekerjaan lama yang dibencinya dan bagaimana semangatnya ia setiap hari bangun untuk berangkat bekerja. Lagi-lagi kembali kepada nilai melayani yang dipancarkan. Kami diantar sampai ke hotel kami menginap, sayangnya kami tidak sempat berfoto dengan sang driver karena peraturan di Amerika ini sangat ketat dan tegas alias tidak boleh parkir lama-lama. Kami mengucapkan terima kasih. Benar-benar kunjungan paling berkesan sepanjang pengalaman saya. Segudang keingintahuan dan catatan yang saya torehkan untuk digunakan pada sesi bootcamp. Sampai nanti saya berkunjung lagi ke Zappos.

Silahkan follow @GraceHeny

  • 24 Apr, 2018
  • 168Solution Public Class

Share This Story